Pemerintah Abai Melindungi Pekerja Bukan Penerima Upah di Jamsos Naker
Oleh: Timboel Siregar
MENURUT Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003, Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Pasal 4 huruf (d) dan Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003 dengan jelas mengamanatkan kepada seluruh pekerja termasuk pekerja di luar hubungan kerja (disebut juga Pekerja Bukan Penerima Upah atau PBPU atau biasa disebut juga sebagai pekerja Informal). Selama ini Pemerintah tidak fokus melindungi pekerja di luar hubungan kerja, dan ini artinya Pemerintah sudah melanggar Pasal 4 huruf (d) dan Pasal 1 angka 31 UU No. 13 Tahun 2003.
Baca Juga: Kenaikan UM 2024, Pemda Harus Alokasikan APBD-nya untuk Subsidi Kebutuhan Buruh
BPS mencatat, pada Agustus 2023 jumlah angkatan kerja nasional sekitar 147,71 juta orang. Dari jumlah tersebut, mayoritasnya atau sekitar 82,67 juta orang (55,9%) bekerja di sektor informal. Kemudian sekitar 57,18 juta orang (38,7%) bekerja di sektor formal, dan 7,86 juta orang (5,3%) pengangguran.
PBPU harus juga dilindungi oleh Jaminan sosial, namun hingga saat ini hanya diwajibkan ikut Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), dapat mengikuti Jaminan Hari Tua (JHT) dan tidak boleh ikut Jaminan Pensiun (JP). PBPU merupakan kelompok pekerja yang rentan mengalami resiko pada saat bekerja.
Baca Juga: Kemnaker Harus Serius Menegakkan Hukum terkait THR
Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Dengan amanat Pasal 34 ayat (2) ini seharusnya Pemerintah mengutamakan pelaksanaan pengembangan jaminan sosial kepada Masyarakat yang lemah seperti PBPU.
Secara yuridis dengan mengacu pada Pasal 8 ayat (2) Peraturan Presiden no. 109 tahun 2013, PBPU wajib ikut Program JKK dan JKm. Termasuk juga untuk pekerja Ojol.
Data di bawah ini mencatat peserta PBPU yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan sebesar 9.192.755 jiwa, tentunya kepesertaan tersebut masih sangat kecil (sekitar 10 persen) bila dibandingkan dengan jumlah PBPU (pekerja informal) sebanyak 82,67 juta orang.
Baca Juga: Menaker: Pemerintah Segera Terbitkan Surat Edaran Pembayaran THR 2024
Terkait dengan Pekerja Ojol yang juga termasuk PBPU, Pasal 32 ayat (2) Permenaker no. 5 Tahun 2021 mewajibkan pekerja kemitraan seperti pekerja ojol dan kurir logistic ikut program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm), dan pada Pasal 34 diamanatkan kepesertaan JKK dan JKm pekerja Ojol tersebut harus dapat dipastikan oleh pihak penyedia jasa layanan (Perusahaan aplikator) melalui kemitraan.
Namun ketentuan regulasi ini tidak berjalan dengan baik sehingga masih banyak pekerja ojol yang belum terlindungi di JKK dan JKm. Dalam Perjanijan Kemitraan tidak disebutkan kewajiban pekerja Ojol wajib mengikuti JKK dan JKm.
Kemnaker harusnya menjalankan perintah Pasal Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 34 Permenaker no. 5 Tahun 2021 dengan memerintahkan perusahaan penyedia jasa layanan (aplikator) untuk mendaftarkan semua pekerja ojol dan kurir logistic lainnya ke JKK dan JKm yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan.
Baca Juga: Kemnaker: Pengusaha yang Telat Bayar THR akan Dikenai Denda 5 Persen
Saat ini pekerja ojol yang sudah terdaftar di program JKK dan JKm di BPJS Ketenagakrjaan sekitar 300 ribu dari total 2 juta pekerja Ojol, tentunya ini potensi meningkakan kepsertaan bagi PBPU.
Selain itu mengacu pada Pasal 14 dan Pasal 17 UU SJSN, Pemerintah harus mendaftarkan pekerja informal miskin ke BPJS Ketenagakerjaan untuk program JKK, JKm dan JHT, yaitu sebagai peserta PBI. Dan amanat ini sudah dijanjikan oleh Presiden Jokowi dalam RPJMN 2020 – 2024, namun hingga saat belum direalisasikan.
Dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), ada sekitar 18 juta pekerja informal miskin (Data dari DJSN). Seharusnya Kemnaker menjadi inisiator untuk merealisasikan PBI untuk Program JKK, JKm dan JHT bagi pekerja informal miskin.
Pekerja penerima upah (formal) diberi subsidi iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebesar 0,22 persen tiap bulan dari APBN, namun pekerja informal miskin masih belum diberikan perlakuan yang sama untuk dibayar APBN, paling tidak untuk program JKK dan JKm.
Baca Juga: Wapres: Pemerintah Miliki Komitmen Bangun SDM Terampil Melalui BLK Komunitas
Abainya Pemerintah melindungi Pekerja informal miskin dalam JKK dan JKm termasuk pekerja kemitraan (ojol) merupakan bukti pelanggaran Pasal 34 ayat (2) UUD 1945. Terjadi diskriminasi perlindungan jaminan sosial bagi pekerja PBPU khususnya miskin dan pekerja kemitraan.
Saat ini Komisi IX dan Kemnaker sedang membahas tentang jaminan sosial ketenagakerjaan bagi PBPU. Saya berharap Komisi IX DPR RI mengkritis masalah ini dan meminta Ibu Menteri Ketenagakerjaan serius melindungi PBPU khususnya pekerja informal miskin dan kemitraan seperti Ojol. Dasar hukum konstitusi dan yuridis sudah sangat jelas mengamanatkannya.
Baca Juga: Menaker: Penerapan Upah Berbasis Produktivitas Ciptakan Keadilan bagi Pekerja dan Pengusaha
Presiden Jokowi harus mengevaluasi para pembantunya, khususnya Menteri Ketenagakerjaan yang abai melindungi PBPU khususnya pekerja informal miskin dan pekerja kemitraan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan.
Saya berharap Komisi IX pun harus meminta kepada Presiden untuk segera merealisasikan janjinya untuk melindungi pekerja informal miskin paling tidak di program JKK dan JKm. [Penulis adalah aktivis Buruh]