Reuni Aksi 212 Marak Digelar, Bukti Pemerintah Abaikan Politisasi Identitas
JAKARTA, SP – Komitmen bersama dalam mengantisipasi penguatan politisasi identitas pada gelaran Pemilu 2024 mendapat ujian ketika tahapan Pemilu telah memasuki masa kampanye yang telah berlangsung sejak 28 November 2023.
Penyelenggaraan reuni aksi 212 pada 2 Desember 2023 menjadi salah satu potret bahwa politisasi identitas masih diberi ruang dan terus mengalami repetisi sejak pertama dilakukan tahun 2016.
Demikian dikatakan Ikhsan Yosarie dari SETARA Institute dan Ahmad Masihudin, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Senin (4/12/2023).
Baca Juga: Hendardi, Tokoh HAM Indonesia Terima Medal of Honor dari Pemerintah Timor Leste
Ikhsan mengatakan, Reuni aksi 212 nyatanya tidak hanya diselenggarakan di Monas (Jakarta), tetapi juga dilaksanakan di kota-kota, di antaranya Kota Medan.
Dalam rangka mendorong pencegahan politisasi identitas dalam gelaran Pemilu 2024, eksklusivitas gerakan ini justru menjadi hal yang kontradiktif. Meskipun gerakan ini menjadi bagian dari kebebasan berekspresi, tetapi gerakan ini juga perlu dipahami tidak berdampak kepada pengarusutamaan inklusivitas dan toleransi yang tengah didorong untuk mencegah politisasi identitas.
Dikatakan, memfasilitasi gerakan ini memiliki implikasi terhadap narasi politik identitas yang tumbuh mekar, terutama menjelang kontestasi Pemilu 2024. Ruang publik menjadi tempat suburnya narasi-narasi identitas yang mengkristal dalam gerakan ini, serta bersifat eksklusif yang tentu tidak kondusif terhadap inklusivitas.
Baca Juga: Anwar Usman Gugat Ketua MK Suhartoyo ke PTUN Jakarta
Dalam konteks demikian, kata dia, ketika pemerintah memberikan izin dan/atau memfasilitasi gerakan ini, maka masyarakat perlu lebih proaktif dalam mengantisipasi dan memberikan kontranarasi terhadap politisasi identitas. “Sebab politisasi identitas melahirkan situasi sosio-kultural yang intoleran dan diskriminatif. Politisasi identitas menempatkan kelompok minoritas dalam kerentanan (vulnerability),” kata dia.
Ikhsan melanjutkan, dalam konteks menjaga kondisi toleransi dan inklusivitas, Kota Medan sebagaimana diketahui memiliki pekerjaan rumah yang besar dalam memastikan hak-hak kelompok minoritas dalam mendirikan rumah ibadah.
“Ekosistem seperti ini mudah untuk tumbuh-kembangnya politisasi identitas, sehingga elemen masyarakat di Kota Medan, terutama anak-anak muda, perlu mengambil peran membangun gerakan bersama untuk menangkalnya,” kata dia.
Menurut Ahmad Masihudin, salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah penguatan kapasitas. Kaum muda dan masyarakat pada umumnya mesti memiliki kapasitas mengenai bagaimana mencegah dan menangani politisasi identitas yang terjadi.
Baca Juga: Mengetuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai
Dalam kerangka tersebut, SETARA Institute bekerja sama dengan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB JAI) kembali menyelenggarakan Roadshow ke-5 dengan mengunjungi Kota Medan dalam rangka peningkatan kapasitas dalam mencegah dan menangani politisasi identitas jelang Pemilu 2024.
Sebelumnya 4 kota sudah dikunjungi, yakni Jakarta (11-12 Juli 2023), Bandung (26-27 Agustus 2023), dan Salatiga (9-10 September 2023), dan Kota Sukabumi (20-21 November).
Sama seperti kota-kota sebelumnya, peserta dalam setiap pelatihan ini adalah elemen muda masyarakat sipil setempat dengan rentang usia 17-25 tahun yang berasal dari beragam latar belakang yang berbeda, baik dari identitas agama dan kepercayaan, hingga berasal dari beragam elemen mahasiswa, media, serta aktivis keberagaman.
Kegiatan ini memiliki dua tujuan, yaitu: (1) konsolidasi masyarakat sipil untuk membangun langkah bersama dalam memitigasi politisasi identitas; dan (2) penguatan kapasitas masyarakat sipil, terutama anak muda, agar dapat memiliki daya, upaya, dan kontribusi dalam membangun ekosistem sosial-politik yang harmonis.
Baca Juga: Kepala BP2M Pastikan Pekerjaan Tidak Terganggu di Tahun Politik
Melalui kepesertaan yang diisi anak muda, melalui kegiatan ini diharapkan agar anak-anak muda juga mengambil peran dalam menjaga inklusivitas di Kota Medan yang sebelumnya juga memiliki catatan yang kontraproduktif dengan upaya menjaga keberagaman dan inklusivitas, di antaranya hambatan dan/atau penolakan pembangunan rumah ibadah.
Semestinya seluruh pihak, baik aktor negara maupun nonnegara, tidak menyediakan ruang dan peluang terjadinya intoleransi dan persekusi terhadap kelompok minoritas.
Upaya antisipasi perlu dilakukan guna memastikan Pemilu 2024 yang damai dan sejuk, serta mengantisipasi potensi-potensi terjadinya pembelahan atau polarisasi masyarakat yang mengakibatkan disintegrasi bangsa sebagai dampak politisasi identitas dalam kampanye politik.
Pada tahap tersebut, segenap elemen bangsa perlu mengambil peran guna memastikan Pemilu 2024 yang damai dan sejuk, serta mengantisipasi potensi-potensi terjadinya pembelahan atau polarisasi masyarakat yang mengakibatkan disintegrasi bangsa sebagai dampak politisasi identitas dalam kampanye politik. [sh]