Aksi Pembubaran Ibadah terhadap Mahasiswa Katolik, SETARA Institute : Gejala Lemahnya Ekosistem Toleransi
Polres Tangerang Selatan melakukan konferensi pers setelah menetap para tersangka kasus pengeroyokan terhadap mahasiswa yang tengah berdoa Rosario di Kelurahan Babakan, Tangerang Selatan, Selasa (7/5/2024).
JAKARTA, SP – SETARA Institute menilai, kasus pembubaran peribadatan yang menimpa mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) yang melaksanakan ibadah Rosario merupakan pelanggaran atas Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB). Selain itu, cerminan dari lemahnya ekosistem toleransi di tengah tata kebinekaan Indonesia.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam siaran persnya, Rabu (8/5/2024).
Baca Juga: Prabowo Diberi Bintang 4, Politik Jokowi yang Melecehkan Keluarga Korban Penculikan
Menurut Halili, kasus ini mempertegas bahwa situasi pelanggaran KBB stagnan serta gangguan atas tempat ibadah dan peribadatan masih terus terjadi. “Data SETARA Institute menunjukkan, dalam periode tahun 2007-2022 terdapat 573 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan peribadatan yang terjadi di Indonesia,” kata dia.
Selanjutnya, kata Halili, kasus pembubaran ibadah Rosario Mahasiswa Katolik UNPAM menunjukkan bahwa intoleransi dan kebencian terus menjadi ancaman terhadap hak atas KBB yang secara konstitusional harus dijamin oleh negara dan pemerintah. Dalam kasus pembubaran rosario di Unpam, ada dua faktor utama yang mendorong pembubaran, yaitu intoleransi di kalangan masyarakat dan kegagalan elemen negara, dalam konteks ini RT/RW sebagai unsur negara di tingkat terkecil, di ranah masyarakat, untuk menjamin hak seluruh warga atas KBB.
Baca Juga: Hendardi, Tokoh HAM Indonesia Terima Medal of Honor dari Pemerintah Timor Leste
Menurut Halili, upaya pihak kepolisian untuk mendamaikan para pihak mesti diapresiasi. Namun demikian, kata dia, kepolisian perlu memastikan adanya dugaan tidak pidana yang terjadi. Penegakan hukum atas kasus-kasus persekusi penting untuk dilakukan, untuk mencegah perluasan persekusi dan pelanggaran KBB. “Dalam pemantauan SETARA Institute selama ini, lemahnya penegakan hukum sering terjadi berkenaan dengan pelanggaran KBB dan secara umum menjadikan kelompok minoritas sebagai korban,” kata dia.
SETARA Institute mendorong seluruh pihak untuk menahan diri. Narasi-narasi lanjutan terkait peristiwa yang mereproduksi kebencian dan menaikkan tensi konfliktual mesti dihentikan. Para pihak diharapkan untuk melakukan upaya-upaya cooling down.
SETARA Institute juga mendesak para pihak untuk menolak politisasi terkait kasus tersebut dalam rangka dinamika elektoral, khususnya terkait Pilkada pada November 2024 mendatang.
Baca Juga: Mengetuk Hati Lembaga Survei dan Memaknai Seruan Pemilu Damai
Selain itu, SETARA Institute mendesak Pemerintah untuk melakukan tindakan lanjutan yang dibutuhkan, seperti penanganan korban, jaminan perlindungan hak atas KBB, dan penegakan hukum atas tindak kekerasan yang terjadi.
Halili mengatakan, berkenaan dengan banyaknya kasus pembubaran, persekusi, dan pelanggaran-pelanggaran lain atas KBB, agenda besar yang harus menjadi perhatian bersama yaitu membangun ekosistem toleransi di tingkat masyarakat.
Ekosistem toleransi ini mesti dibangun dengan prakarsa kepemimpinan politik, yang mana walikota dan seluruh kepemimpinan politik mesti memberikan perhatian untuk agenda pemajuan toleransi. Di samping itu, diperlukan inisiatif dan kepemimpinan birokrasi, termasuk birokrasi di tingkat Kecamatan dan RT/RW. “Lebih dari itu, pembangunan ekosistem juga membutuhkan prakarsa dan kepemimpinan sosial,” kata dia.
Baca Juga: Reuni Aksi 212 Marak Digelar, Bukti Pemerintah Abaikan Politisasi Identitas
Seluruh elemen masyarakat terkait, baik dalam bentuk entitas resmi seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan Majelis-Majelis Keagamaan, maupun komunitas-komunitas sosial di berbagai bidang, seperti kebudayaan tradisional, kesenian, dan sebagainya, mesti terlibat dalam pembangunan ekosistem toleransi. [il]