
Diduga Jadi Korban Penggelapan Sertifikat Rumah, Dua Lansia Teriak Histeris Saat Pemasangan Garis Polisi di Sunter
JAKARTA, SP – Dua orang lansia Poni (65) dan Mega (60) berteriak histeris saat sejumlah anggota kepolisian memasang garis polisi (Police Line) di pagar rumah mereka yang ada di Jalan Agung Tengah 12, Blok I7 Nomor 7, RT12/RW16 Kelurahan Sunter Agung, Kecamatan Tanjung Priok, Kota Jakarta Utara pada Rabu (21/8/2024) sore.
Teriak histeris tersebut sempat membuat warga sekitar berkerumun di area sekitar rumah yang didatangi polisi. Para lansia tersebut mengaku menjadi korban mafia tanah penjualan sertifikat rumah menjadi nama Waluyo tanpa sepengetahuan pemilik sertifikat sebelumnya yakni adik mereka atas nama Rudy.
Kuasa hukum pemilik rumah sebelumnya (Poni, Mega, dan Rudy), Aris menjelaskan kepada awak media bahwa kronologi awalnya pada tahun 2012, Rudi membeli rumah tersebut untuk kakaknya yaitu Poni dan Mega. Ada tiga orang tertera namanya dalam serifikat tersebut.
Setelah tahun 2012, tiga tahun kemudian dijelaskan Aris bahwa Rudi memiliki bisnis namun mengalami kerugian sehingga harus menanggung beban hutang sebesar Rp 4,5 miliar dan ada pihak Waluyo Susanto yang meminjamkan dana tersebut.
Kemudian dijelaskan Aris, sertifikat rumah tersebut dibalik nama tanpa sepengetahuan Rudy. Tindakan tersebut digugat oleh Rudy. Sempat ada perdamaian pada 30 Januari 2017. Dari hasil perdamaian tersebut damainya di pengadilan Dalam putusan yg sudah berkekuatan hukum tetap No.346/Pdt.G/2016/PN.JKT.Utr.
Akta Perdamaian memerintahkan sertifikat dikembalikan dulu atas nama Rudy dkk. Putusan pengadilan itu diucapkan saat itu dihadiri oleh Rudy.
“Empat bulan kemudian pada bulan Mei 2017, sertifikat itu dijual kepada pak Waluyo. Pak Rudi gak tahu ini, sampai 2024 baru tahu. Bulan April baru tahu pak Rudi, bahwa sertifikat tanah dia sudah dijual oleh Fransiska Sudarman, dengan harga Rp 9 miliar, jadi terima dua kali itu Fransiska Rp 4,5 miliar sama Rp 9 miliar, jadi Rp 13 miliar dia dapat,” ungkapnya.
“Ini gaya mafia kalau begitu, harga rumah Rp 14,5 miliar dibeli Rp 4,5 miliar, tapi akta jual beli yang dibuat oleh Fransiska Sudarman dengan Hardi kepada Waluyo itu harga jualnya Rp 9 miliar, jadi dua kali dong dia dapat, di akta jual beli Rp 9 miliar dan uang talangan Rp 4,5 miliar,” papar Aris lagi.
Kemudian pihak Rudy dilaporkan oleh Waluyo dengan Pasal 167 KUHP. Aris menjelaskan pihaknya sebagai kuasa hukum menceritakan kronologi semuanya kepada aparat penegak hukum.
“Karena di dalam Putusan pengadilan harus dikembalikan serifikat nya. Kita bilang kita jelaskan semua sejelas-jelasnya, gak boleh polisi melakukan status quo Pasal 167 KUHP, apa dasarnya, kan masih sengketa hak milik kok, ini harganya Rp 14,5 miliar, hutang Rp 4 miliar, jadi Rp 9 miliar, hutang apa itu,” terang Aris.
“Dijual kayak gitu, yang seharusnya dikembalikan oleh putusan itu memerintahkan Fransiska Sudarman dengan Hadi Kurniawan dikembalikan kepada pak Rudy. Nah antara pak Waluyo dan pak Rudi harus dilakukan hutang piutang, tanggal berapa hutangnya, berapa nilainya harus ada, tapi ini tidak ada dan polisi ini tidak nanya soal itu. Dikeluarkan akta-akta yang kita tidak pernah tahu,” kata Aris lagi.
Pony dan Mega disebut Aris pernah bertemu dengan Waluyo sekali-kali nya sebelum dilakukan nya perdamaian di Pengadilan.
“Jadi kita sudah jelaskan kepada polisi, tidak boleh seperti itu, ini sudah melanggar hak asasi manusia kalau begini ceritanya, main plang-plang saja dia. Saya sudah larang agar tidak di plang, memang saya diberi tahu akan dipasang garis polisi atas perintah atasan. Siapa atasannya, Kapolri, Kapolda, Kabareskrim, dia gak ngasih tahu perintah atasannya itu siapa,” tambah Aris.
Aris mengungkapkan memang seperti ada rencana bahwa mereka (aparat) mungkin mau suruh Pony , Wati dan penghuni lainnya keluar dari rumah. “Tapi tidak mau keluar orang ini kita punya kok, kita mau pulangkan duit Rp 4,5 miliar, tapi dia tidak mau kok Waluyo,” ucap Aris.
Aris menjelaskan atas pemasangan garis polisi dan rencana pemasangan plang status quo, pihaknya akan lakukan pra peradilan dan gugatan perdata. Ia juga melihat tindakan aparat kepolisian dalam memasang garis polisi di pagar rumah diduga ilegal.
“Saat ini yang tinggal di rumah ini kakak Rudi, ibu Poni, ibu Mega dan satu orang bapak. Mereka tidak mau keluar, harga rumah Rp 14,5 miliar dengan cara yang licik dibeli dengan Rp 4,5 miliar,” kata Aris.
Tindakan kepolisian dalam memasang garis polisi dikatakan Aris tidak ada klarifikasi dan pemberitahuan.
“Memang pernah saya dikasih tahu sama polisi bahwa mereka akan bikin status quo pasang garis polisi, dimana status quo nya, ini sengketa milik saya bilang. Saya pra peradilan kalau dikeluarkan. Terpaksa saya lakukan pra peradilan. Besok saya persiapkan surat, segera saya daftarkan gugatan,” kata Aris.
“Saya tanya kepada penyidik atas nama pak Benny, dia bilang perintah atasan. Siapa atasannya, Kapolri, Kapolda, Kabareskrim, Direktur kah, atau siapa kita tidak tahu perintah atasan. Jadi (penyidik) main segel saja,” ungkapnya.
Pemasangan garis polisi disebutkan terjadi sekitar jam 17.00 WIB, Aris mengaku masih di jalan saat kejadian. Sedangkan Rudi sedang tidak ada di rumah.
“Di rumah ada ibu Poni, ada ibu Mega. Ibu Poni yang marah sama para kepolisian, ada satu unit tiga mobil. Itu yang memasang garis polisi unit dari Kasubdit Resmob Unit 1. Jadi terjadinya jual-beli tanpa sepengetahuan pak Rudi ini di bulan Mei 2017, sedangkan Poni dan Mega sudah masuk di rumah ini sejak 2012,” pungkasnya.
Aris menekankan bahwa meskipun sertifikat atas nama orang lain, namun harus dilihat secara seksama proses nya seperti apa. Proses balik namanya apakah sudah sesuai aturan BPN syarat Fisik dan Yuridisnya. Tanah masih ditinggal pemilik awal Kenapa BPN bisa Balik nama. Dan Didalam Putusan Pengadilan BPN pihak tergugat. Berarti BPN tau ada perintah pengadilan yang mana sertifikat harus di kembalikan dan dibalik nama ke nama semula.
Salah satu penghuni rumah, Poni (60) kepada awak media menjelaskan dirinya teriak saat kedatangan polisi hendak memaksa masuk ke dalam rumah untuk memasang plang.
“Tadi saya jerit teriak. Jangan mau bikin saya mati lagi. Waktu preman datang gergaji pintu rumah dan bawa senjata tajam (golok dan samurai) tapi tidak ada tindakan tegas dari Polisi ini sudah mengancam keselamatan kami. saya sudah tidak makan, lampu dimatikan. Kalau di Police Line saya kan jadi tidak bisa keluar masuk. Tolong saya bilang, tolong. Kita disini sudah 2012, saya bilang ke pak Benny sudah ada akta perdamaian, tapi kenapa masih begini terus. Pak Benny nya hanya diam. Saya ngomel-ngomel, saya menjerit-jerit,” kata Poni.
“Mereka mau naik pagar mau masuk dan mau pasang plang,Keramik teras rumah saya dirusak pake linggis saya bilang tidak boleh, saat saya teriak mereka polisi hanya diam. Saya sudah dua kali ketemu sama Benny. Ada surat dibacain oleh polisi dari Polda, dia bacain untuk pasang garis Polisi. Saya gak tahu itu serifikat diganti nama nya. Saya bilang tunggu pengacara kuasa hukum saya, mereka nanya mana kuasa hukumnya, pengacara saya naik mobil bukan pesawat jet. Ini jam pulang kantor macet,” tambah Poni dengan nada cemas sekaligus geram atas tindakan pemasangan garis polisi tersebut.
Sementara itu penghuni lainnya, Mega (65) sempat meminta aparat untuk bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa dengan mereka berdua yang sudah lansia.
“Saya sampaikan ke pak Benny kalau saya kenapa-kenapa saya laporkan pak Benny. Karma itu berjalan perlahan saya sampaikan ke dia. Eh dia pasang Police Line seenaknya saja rumah orang. Saya bilang saya tidak Pernah jual rumah ini, saya sudah sejak 2012 tinggal disini. Saya bilang kalau sampai saya kenapa-kenapa itu salah nya pak Benny. Tujuh hari saya tidak makan karena ada preman masuk ke dalam rumah. Kita minum air keran,” ungkap Mega.
Saat pemasangan garis polisi tersebut juga dihadiri oleh koordinator keamanan komplek perumahan tersebut atas nama Said.
“Saya sebagai koordinator hanya menjaga agar warga. Soalnya tadi ada ribut-ribut kebisingan. Tadi jam 5 sore para polisi datang. Dia kasih surat penyegelan rumah karena ini serifikat atas nama Waluyo,” ungkap Said.
Petugas kepolisian dijelaskan Said datang menggunakan tiga kendaraan.
“Satu mobil pick up, satu avanza, sama satu mobil kuning. Mereka memang bertindak secara profesional,” ucapnya.
“Setahu saya dari 2012 ibu Poni tinggal di rumah tersebut.Kalau pak Waluyo memang tidak pernah tinggal disini. Kalau pasal 167 memasuki pekarangan orang, seharusnya pasal 167 tidak terbukti untuk kakak-kakak saya (Poni dan Mega). Tapi saya berharap tidak ada kegaduhan atas sengketa ini,” kata Said.
Perihal pasokan makanan untuk para lansia tersebut dijelaskan Said selama ini bisa diantar lewat atas pagar oleh orang suruhan untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Sementara itu, salah satu pemilik sertifikat sebelumnya, Rudy mengungkapkan dirinya tidak tau apa dasar pemasangan garis polisi dengan pemasangan garis polisi yang diduga menyalahi aturan tersebut. Langkah selanjutnya Rudy mengaku sudah meminta supaya hukum ditegakkan seadil-adilnya.
“Dasarnya garis polisi apa, bukti kepemilikan sertifikat benar memang atas nama Waluyo tapi perolehan nya benar atau enggak. Sedangkan putusan pengadilan lebih tinggi daripada polisi, Kalau putusan pengadilan yg sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah adanya penetapan Eksekusi dan Anmaning dari Pengadilan yang harus dijalankan saja sudah tidak dianggap putusan apa lagi yg harus didengar ini yang harus dijelaskan. Benar kata masyarakat no viral no justice dan tidak ada uang tidak ada keadilan,” ucap Rudy.
“Saya mohon kepada Presiden RI bapak Jokowi, Kapolri bapak Listyo Sigit dan Menteri ATR/BPN Bapak AHY untuk bisa memberi kepastian hukum yang seadil-adilnya. Kami ini membayar pajak untuk negara, dan harapan kami hukum dapat ditegakkan seadil-adilnya,” pungkas Rudy.
Awak media sudah mencoba menghubungi pihak Waluyo, namun belum ada respon yang diberikan atas peristiwa pemasangan garis polisi tersebut. [eh]